D Z P Note's
Jumat, 14 Februari 2014
Rabu, 14 Maret 2012
Analisis Kritis Terhadap Pembentukan Kabinet dalam Sistem Pemerintahan Parlementer
Penulis : Dedi Zulkarnain
Pratama (Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Brawijaya)
Pada umumnya, sistem pemerintahan
dibagi menjadi tiga kategori diantaranya adalah sistem pemerintahan presidensial
(presidential system), sistem
pemerintahan parlementer (parlementary
system) dan sistem pemerintahan campuran (mixed system atau hybrid system) seperti yang dikemukakan oleh
Prof. Jimly Ashidique, M.H[1]. Walaupun
ada pula yang menyatakan adanya tipe sistem pemerintahan kolektif dan sistem
pemerintahan monarki seperti yang dikemukakan oleh Prof. Denny Indrayana. Tentunya
banyak perbedaan, kelebihan serta kelemahan dalam masing-masing tipe dan
penggunaannya pun harus menyesuaikan dengan kondisi dalam suatu negara. Namun,
dalam tulisan kali ini akan membahas lebih mendalam mengenai tipe yang kedua
yakni sistem pemerintahan parlementer dari sisi pembentukan kabinet. Secara
umum, prinsip dasar dalam sistem pemerintahan parlementer adalah hubungan
antara eksekutif dan legislatif yang saling bergantung satu sama lain. Sifat
dan bobot “ketergantungan” ini berbeda dari satu negara dengan negara yang
lain, akan tetapi umumnya dicoba untuk mencapai semacam keseimbangan antara
badan eksekutif dan badan legislatif.[2]
Oleh karena itu, ada semacam hubungan kausalitas yang sangat erat antara
eksekutif dan legislatif dalam sistem ini.
Merujuk
pada keseimbangan antara eksekutif dan legislatif seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya, akan lebih “balance”
jika kabinet itu merupakan bentukan dari satu partai besar yang menang dalam
pemilu legislatif atau di suatu negara yang hanya berlaku sistem dwi partai.
Namun, ada peluang besar bagi kabinet dan juga partai penguasa parlemen dalam
hal monopoli kekuasaan. Pemikiran ini sejalan dengan yang dikemukakan C.W. Van
der Pot seperti yang dikutip dalam buku Dasar-Dasar
Ilmu Politik yakni, beberapa negara, seperti Negeri Belanda dan
negara-negara Skandinavia, pada umumnya berhasil mencapai suatu keseimbangan,
sekalipun tidak dielakkan suatu “dualisme antara pemerintah dan dewan perwakilan rakyat”[3].
Seperti yang kita ketahui, dalam
sistem pemerintahan parlementer terdapat pemisahan antara kepala negara dan
kepala pemerintahan baik dari segi fungsi, kewenangan maupun aktor yang mengisi
jabatan tersebut. Umumnya kepala negara dijabat oleh Presiden (negara republik)
dan Raja atau dengan sebutan lain (negara monarki). Sedangkan kepala
pemerintahan dijabat oleh seorang perdana menteri yang dipilih langsung berdasarkan
partai pemenang pemilu legislatif atau koalisi partai dalam legislatif. Pemerintah
atau kabinet terdiri dari para menteri dan perdana menteri sebagai pemimpin
kabinet. Dalam menentukan kabinet, perdana menteri memiliki hak prerogatif
dalam menyusun kabinet dengan memerhatikan usulan atau pertimbangan parlemen
terutama partai yang memilih atau mendukung perdana menteri. Kabinet dalam
sistem ini adalah para menteri yang rangkap jabatan (hanya dalam sistem
pemerintahan parlementer). Artinya, menteri-menteri dalam kabinet ini harus
merupakan anggota parlemen dan hal ini berbeda dengan asas “trias politika”, yang mana dalam asas
ini tidak mengenal rangkap jabatan dalam tiga cabang lembaga tinggi negara yang
ada (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Dalam sistem ini pula, eksekutif
bertanggung jawab kepada legislatif yang walaupun pada hakikatnya eksekutif
dipilih oleh rakyat secara tidak langsung melalui wakil-wakil mereka di
parlemen
Pembentukan kabinet dalam sistem
pemerintahan parlementer tentu tidak sederhana, melainkan banyak langkah dan
proses yang rumit serta “cost” yang
mahal agar dapat membentuk kabinet yang akan menjalankan orde/era/rezim dalam
suatu pemerintahan. Di mulai dari pemilu legislatif yang merupakan rangkaian
dari proses tersebut, partai-partai yang akan bertarung dalam pemilu mulai
sibuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan kesuksesan partai mereka.
Di awali dengan penyampaian visi dan misi, memperkenalkan kader-kader partai
(calon legislatif) hingga program partai yang akan diwujudkan apabila partai
tersebut menang dalam pemilu. Partai pemenang adalah partai yang mendapatkan
suara terbanyak dalam pemilu. Selanjutnya, partai pemenang bisa disebut sebagai
partai pemerintah apabila mendapat dukungan suara rakyat sebanyak 50% + 1 atau
lebih dan memiliki kewenangan membentuk kabinet parlementer secara penuh.
Namun, apabila suara partai pemenang kurang dari syarat yang ditentukan yakni
< 50% + 1, maka diperlukan“koalisi”[4].
Masa jabatan kabinet tidak mutlak
ditentukan dalam satu periode atau waktu tertentu melainkan atas dasar
legitimasi dari parlemen yang memilih atau mendukung kabinet tersebut,
seringkali disebut sebagai “mosi tidak
percaya”[5].
Sederhananya, jika mayoritas dukungan dalam parlemen tidak berkenan dengan
hasil kerja kabinet atau kabinet melanggar konstitusi atau bahkan melakukan
pelanggaran terhadap “kontrak politik” (jika terjadi koalisi), maka kabinet
dapat dibubarkan dan berimplikasi pula pada parlemen sebab parlemen juga tidak
memiliki legitimasi lagi. Kabinet parlementer yang dibentuk berdasarkan
kemenangan satu partai akan memiliki tingkat kebebasan yang lebih banyak dalam
menentukan kebijakan sebab tidak terlalu banyak kompromi yang dilakukan dengan
partai lain. Sebaliknya, jika kabinet dibentuk atas dasar koalisi, maka
kebijakan, program ataupun kegiatan eksekutif akan dilaksanakan dengan hati-hati
sebab tingkat pengawasan yang maksimal dari parlemen dan juga kontrak politik yang
harus dipatuhi oleh partai-partai yang berkoalisi. Namun, dalam hal pembubaran
parlemen, yang memiliki kekuasaan tersebut hanya Presiden atau Raja selaku
kepala negara (dalam perannya sebagai penegak bila terjadi pertentangan antara
parlemen dan kabinet) dengan memerhatikan usulan/pertimbangan perdana menteri.
Hal semacam ini pernah terjadi di Negeri Belanda.
Jika
terjadi pembubaran kabinet, baik dibubarkan oleh parlemen atau implikasi dari
pembubaran parlemen maka akan terjadi krisis dalam ranah eksekutif. Akan tetapi, dalam sistem parlementer
krisis semacam ini telah diperhitungkan sehingga dapat dibentuk kabinet ekstra-parlementer[6]
oleh formatur kabinet. Formatur kabinet ini ditentukan oleh Presiden yang biasanya
formatur secara langsung akan menjadi perdana menteri dalam kabinet ekstra-parlementer
ini. Dalam kabinet ekstra parlementer ini, formatur kabinet akan memiliki cukup
peluang untuk menyusun kabinet berdasarkan profesionalitas atau keahlian yang
dibutuhkan dalam menjalankan pemerintahan sementara tanpa menghiraukan dukungan
partai. Walaupun tidak menutup kemungkinan ada menteri yang berasal dari partai
politik, namun dianggap tidak dalam tugas mewakili partainya. Dalam hal kewenangan dan kebijakan, kabinet
ekstra-parlementer biasanya memiliki keterbatasan. Artinya, hanya terbatas
dalam menyelesaikan masalah-masalah yang fundamental.
Ada
beberapa macam kabinet ekstra-parlementer[7] :
a. Zaken
Kabinet, yaitu suatu kabinet yang mengikat diri untuk menyelenggarakan suatu
program yang terbatas.
b. National
Kabinet (Kabinet Nasional), yaitu suatu kabinet yang menteri-menterinya diambil
dari pelbagai golongan masyarakat. Kabinet semacam ini biasanya dibentuk dalam
keadaan krisis, dimana komposisi kabinet diharap mencerminkan persatuan
nasional.
Tentu
dalam setiap sistem pemerintahan yang digunakan oleh negara diseantero dunia
memiliki kelebihan dan kelemahan dalam pelaksanaannya[8].
Sama halnya dengan sistem pemerintahan yang saat ini menjadi fokus pembahasan
tulisan ini. Kelemahan dalam kabinet pemerintahan parlementer ini, yakni :
1. Kedudukan
kabinet mudah goyah dan kelangsungan kedudukan kabinet tidak bisa di tentukan
oleh masa jabatannya karena sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen
sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
2. Kabinet
dapat mengendalikan parlemen. Sebab, menteri-menteri dalam kabinet adalah kader
partai politik yang menguasai parlemen dan memiliki pengaruh besar dalam partai
sehingga anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
3. Jika
terjadi ketegangan atau tidak ada titik temu (deadlock) dalam suatu kebijakan antara menteri dengan parlemen,
maka menteri tersebut dapat secara mudah untuk diganti walaupun yang
diperjuangkan adalah untuk kesejahteraan rakyat.
Sedangkan
kelebihan dalam kabinet pemerintahan parlementer ini, yaitu :
1. Dalam
setiap pembuatan kebijakan atau keputusan dapat secara cepat ditangani sebab
tidak terlalu banyak kompromi politik yang dilakukan karena adanya kesamaan
pandangan antara eksekutif dan legislatif (partai pemenang pemilu legislatif).
2. Pengawasan
yang kuat dari parlemen, sehingga kabinet akan berhati-hati dalam membuat atau
memutuskan suatu kebijakan walaupun cepat namun tetap memerhatikan kecermatan
dan ketepatan.
3. Garis
tanggung jawab antara pembuatan dan pelaksanaan kebijakan jelas. Artinya, ranah
pembuatan oleh parlemen sebagai pembuat produk hukum dan kabinet sebagai
pelaksana kebijakan.
Setiap
sistem pemerintahan tentu memiliki kelebihan dan kelemahan seperti yang telah
diuraikan sebelumnya dalam konteks kabinet dalam sistem pemerintahan
parlementer. Begitu juga dengan kriteria dalam sistem tersebut yang harus
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan di negara yang akan menerapkan sistem
pemerintahan, tidak terkecuali dengan sistem pemerintahan parlementer. Namun,
tidak selamanya setiap negara harus menerapkan salah satu sistem yang secara
teoretik telah digunakan oleh negara-negara maju di belahan dunia ini. Lebih
tepat adalah ketika masing-masing negara menggunakan sistem pemerintahan yang
sesuai dengan kondisi negaranya dalam arti sistem yang telah dikenal di dunia,
sehingga kelemahan dari setiap sistem itu bisa diminimalisasi dengan baik.
Terutama untuk konteks Indonesia hari ini yang benar-benar harus diperbaiki
mulai dari sistem hingga aktor yang berperan dalam sistem tersebut. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat serta dapat memperluas wawasan kita bersama.
[1]
Jimly Ashidique. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Bhuana
Ilmu Populer. Jakarta. 2007. Hal. 311
[4] Koalisi adalah penggabungan dua partai atau lebih
dalam parlemen agar mendapatkan suara mayoritas dalam parlemen. Koalisi hanya
berlaku dalam sistem pemerintahan parlementer.
[5] Mosi tidak percaya adalah pencabutan mandat kabinet
oleh parlemen, artinya kabinet tidak lagi memiliki legitimasi dan harus
mengembalikan mandat pada parlemen.
[6] Kabinet ekstra-parlementer, yaitu suatu kabinet yang
dibentuk oleh formatur kabinet tanpa terikat pada konstelasi kekuatan politik
dalam badan legislatif.
[8] Diambil dari http://rasidinsiahaan.blog.com/archives/11/ diakses
pada hari Jum’at, 9 Maret 2012 pukul 19:26
Biografi Singkat
Dedi Zulkarnain Pratama |
Singkat cerita, Dedi pun masuk ke SMA Favorit di daerahnya yakni SMAN 1 Praya yang mulai angkatan 2007 menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan ia mendapat kesempatan menjadi siswa di kelas Internasional itu. Selama menjadi siswa SMA, ia dikenal sebagai pribadi yang baik dan aktif dalam berorganisasi. Pernah menjadi pengurus OSIS bidang Seni & Budaya, pemain Saxophone pada Marching Band, Pemimpin Redaksi Buletin "MESRA" (Media Sambung Rasa), dan menjadi Sekretaris Umum ekstra kulikuler Teater. Bukan hanya di organisasi, ia juga aktif dalam beberapa kepanitiaan. Dalam kepanitiaan, ia pernah sukses menggelar acara Festival Musik 'INDMANSAY 2' Se-Pulau Lombok bersama dengan rekan-rekannya. Masa demi masa SMA dilalui dengan penuh keceriaan dan benar anggapan orang kebanyakan bahwa masa SMA adalah masa yang paling indah.
Pengalaman berharga yang dialami adalah setelah Ujian Nasional (masa libur sebelum ajaran baru) ia menjadi tim sukses salah satu calon Bupati dan Wakil Bupati di daerahnya, Kabupaten Lombok Tengah yang cukup menginspirasinya untuk mempelajari ilmu dalam bidang ini dan memperbaiki daerah yang dicintainya. Namun, keinginan ini tidak berjalan mulus sebab Ayah Dedi yang dipanggilnya dengan sebutan Bapak menginginkannya masuk dalam dunia Kedokteran. Berbagai tes telah dilalui dan akhirnya ia memutuskan untuk menentang keinginan orang tuanya yang pada akhirnya juga disetujui walaupun dengan berat hati. Lagi-lagi ini ini menjadi pengalaman berarti bagi Dedi yang saat ini berhasil mewujudkan keinginannya untuk mempelajari Ilmu Politik dan Pemerintahan dengan menjadi mahasiswa S-1 pada program studi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Brawijaya. Di dunia kampus ini pula, ia sangat aktif berorganisasi mulai dari menjadi Staf Magang EM UB, Staf Muda BEM FISIP, BARIS, menjabat sebagai Ketua Sementara Himpunan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan yang didirikan bersama oleh mahasiswa Ilmu Pemerintahan angkatan pertama. Saat ini, mahasiswa semester 4 ini terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa FISIP yang merupakan lembaga perwakilan mahasiswa di tingkat Fakultas.
Akhir dari tulisan ini adalah ia akan berupaya dan berjuang untuk dapat sukses dan membanggakan kedua orang tuanya serta mengabdi untuk memperbaiki bangsa Indonesia yang kita cintai bersama. MERDEKA !!!
Langganan:
Postingan (Atom)